Kemhut Bantah Greenpeace Konversi 63 Juta Ha
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Kehutanan (Kemhut) membantah tudingan LSM asing, Greenpeace, berencana mengkonversi 63 juta hektare (ha) kawasan hutan sampai 2030 untuk pengembangan pulp dan paper, palm oil, pertambangan, dan energi terbarukan.Sekjen Kemhut, Hadi Daryanto, di Jakarta, Selasa, mengungkapkan bahwa pemerintah memang berencana membangun hutan tanaman rakyat dan hutan tanaman industri seluas 500.000 hektare per tahun.
Dengan program tersebut, menurut dia, Indonesia selama dua puluh tahun hanya akan memakai 10 juta hektare saja untuk menyediakan bahan baku kayu dari hutan tanaman untuk industri.
Sementara untuk menunjang industri minyak kelapa sawit (CPO), katanya di sela pameran Gerakan Perempuan Tanam, pemerintah akan mengalokasikan areal seluas 300.000 ha per tahun untuk membangun kebun kelapa sawit. "Sampai 2030, kita hanya akan pakai enam juta ha."
Untuk membangun industri biofuel disediakan 200.000 hektare per tahun, sehingga hanya dibutuhkan 4 juta hektare kalau selama 20 tahun.
Sedangkan untuk sektor pertambangan, pemerintah hanya mengalokasikan areal sekitar sepuluh persen dari luas izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam (HPH) seluas 26 juta ha dan hutan tanaman (HTI) 10 juta ha. Jika kedua izin konsesi itu mencapai 36 juta ha, maka areal untuk sektor pertambangan sekitar 3,6-4 juta ha, kata Hadi.
Dengan demikian, luas areal kawasan hutan yang digunakan untuk keempat kegiatan tersebut mencapai 24 juta ha.
"Saat ini, kita punya 35,4 juta ha kawasan hutan yang tidak dibebani hak (open access). Jika kebutuhan areal untuk empat kegiatan tersebut menggunakan kawasan ini, maka masih tersisa kawasan yang tidak dibebani hak seluas 11,4 juta ha. Itu bisa digunakan untuk HPH dan restorasi ekosistem."
Karena itu, tegas Hadi, tuduhan Greenpeace tidak benar karena yang kita pakai cuma 24 juta ha dan bukan 63 juta ha.
Dia juga menjelaskan bahwa pembangunan HTI tidak semuanya dilakukan dengan sistem tebang habis (clear cutting) karena ada aturan deliniasi makro dan mikro. Dari 10 juta ha yang digunakan tersebut untuk HTI, kata Hadi, sekitar 60 persen digunakan untuk tegakan utama dan 30 persen lainnya dipelihara dengan sistem mozaik, sedang sisanya untuk infrastruktur.
Menurut dia, emisi yang dihasilkan dari pembangunan HTI tidak sebesar yang diduga Greenpeace.
Salah sasaran
Hadi juga membantah tuduhan bahwa dana komitmen kerja sama luar negeri di bidang REDD+ yang dikucurkan untuk Indonesia dikorupsi.
"Tuduhan yang di Bangkok itu `misleading`. Ada yang mengungkapkan Staf Ahli Menteri Kehutanan sebagai negosiator seolah-olah mengkorupsi dana REDD. Padahal bukan, tidak ada hubungannya. Itu kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT)."
Hadi mengatakan, dana REDD yang masuk untuk sektor kehutanan adalah dalam rangka Demonstration Activities (DA) yang berkaitan erat dengan "performance based".
Artinya, menurut dia, pencairan dana baru dapat dilakukan setelah melihat kinerja lebih dulu, apakah memenuhi persyaratan yang disepakati. Itu juga mengacu pada penilaian yang dilakukan melalui pengawasan, pelaporan, dan verifikasi (MRV), katanya.
Dari total komitmen pendanaan dalam rangka REDD+ sekitar 220 juta dolar AS (di luar komitmen Norway 1 Miliar dolar), hanya sekitar 5,5 juta dolar yang dikelola oleh Pemerintah Indonesia.
Dana yang dikelola pemerintah tersebut berasal dari UNREDD 2 juta dolar, FCPF (2,7 juta dolar), dan ITTO (0,8 juta dolar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar